Selasa, 05 Agustus 2008

PRESIDEN PEGADAIAN


Pemilihan langsung presiden untuk kedua kalinya di Indonesia, masih akan berlangsung tahun depan. Tapi hingar bingar Balonpres (bakal calon presiden) sudah terasa sejak saat ini.
Beberapa tokoh mulai unjuk diri melalui iklan TV dan media cetak. Mereka melakukan personal branding agar figurnya bisa masuk di benak masyarakat. Mereka kebanyakan tokoh-tokoh lama yang mengalami perjalanan hidup selama 3 orde: orde lama, orde baru dan orde reformasi.
Bahkan ada juga tokoh yang pernah memimpin, tergusur, lalu pingin kembali lagi, tak peduli saat memimpin memberi manfaat atau malah memberi mudharat pada bangsa dan negara.
Belakangan muncul wacana baru. Sebaiknya Indonesia dipimpin oleh tokoh muda. “Balonpres tua no way” begitu jargonnya. Muncullah beberapa Balonpres balita (dibawah lima puluh tahun). Setidaknya sudah ada dua balita yang berani unjuk dada mencalonkan diri: Rizal Mallarangeng (Executive Director Freedom Institute) dan Fajrul Rachman (Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara).
Sungguh menarik dan membanggakan. Karena ternyata banyak figur yang bersedia, suka rela, menawarkan diri menjadi pemimpin negeri yang belum bisa beranjak dari amukan krisis multidemensi. Utamanya krisis moral sejumlah wakil rakyat dan sejumlah pejabat, yang disadari atau tidak sudah menular sampai tingkat aparat di bawah.
Persoalannya, perdebatan yang muncul, juga pesan-pesan yang diusung para Balonpres tersebut belum menyentuh substansi solusi untuk negeri ini. Yang dijual justru problematika laten bangsa, yaitu kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, mahalnya sandang, pangan dan papan yang sepertinya sudah dipahami oleh seluruh rakyat, tapi tak kuat untuk melawannya. Dan bahkan sebagian rakyat pun tahu bahwa beberapa diantara figur yang mencalonkan diri jadi Balonpres adalah bagian dari problem bangsa ini dan atau menjadi penyebab problem negeri ini.
Ada juga yang sekadar membanggakan kemudaannya. Orang muda itu pemikirannya progresif. Yang tua dianggap konservatif, tak ada pembaharuan, dan dicap tidak tahu tren global pemimpin muda. Vladimir Putin memimpin Rusia pada usia 40-an. Bill Clinton jadi presiden AS umur 47 tahun, Tony Blair jadi PM Inggris pada usia 43 tahun, juga Capres favorit AS Barack Obama umurnya 47 tahun.
Tapi bisakah munculnya pemimpin muda di luar sana sebagai sebuah tren? Di masa lalu, orang muda juga sudah tampil. Soekarno jadi presiden RI pada usia 44 tahun. Soeharto ketika menggantikan Soekarno juga belum genap 50 tahun. Muammar Khadafi memimpin Libya juga di usia 40-an. Dan pentingkah tren dunia di ikuti jika tak membawa perbaikan bagi bangsa dan Negara?
Calon presiden semestinya bukan ditentukan oleh muda atau tua, tapi apa yang bisa dilakukan untuk mengentaskan bangsa ini dari berbagai problema yang semakin hari semakin akut. Calon presiden juga tak cukup hanya memiliki gaya dan kemampuan seperti kartu kredit, yang keren, trendi, praktis, dan bisa mengatasi masalah secara instan, tapi kemudian memunculkan masalah baru ketika over limit dan tak cukup dana untuk melunasi tagihan.
Indonesia butuh calon presiden yang seperti jargon Pegadaian: Mengatasi masalah tanpa masalah. Dan yang pasti bukan figur yang bermasalah.

Tidak ada komentar: